Karakter sebagai suatu ’moral
excellence’ atau akhlak dibangun di atas berbagai kebajikan (virtues) yang pada
gilirannya hanya memiliki makna ketika dilandasi atas nilai-nilai yang berlaku
dalam budaya (bangsa). Karakter bangsa Indonesia adalah karakter yang dimiliki
warga negara bangsa Indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai
sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa diarahkan
pada upaya mengembangkan nilai-nilai yang mendasari suatu kebajikan sehingga
menjadi suatu kepribadian diri warga negara.
Proses pembelajaran Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa dilaksanakan melalui proses belajar aktif. Sesuai
dengan prinsip pengembangan nilai harus dilakukan secara aktif oleh peserta
didik (dirinya subyek yang akan menerima, menjadikan nilai sebagai miliknya dan
menjadikan nilai-nilai yang sudah dipelajarinya sebagai dasar dalam setiap
tindakan) maka posisi peserta didik sebagai subyek yang aktif dalam belajar
adalah prinsip utama belajar aktif. Oleh karena itu, keduanya saling
memerlukan. (Bapelitbang Puskur,
Kemdiknas)
Sejalan dengan maksud dan tujuan
yang luhur, apalagi jika kita baca kembali tujuan pendidikan nasional, maka
implementasi pendidikan Karakter (Pendidikanj kepribadian) adalah menjadi tugas
dan tanggung jawab kita semua. Bidang apapun yang kita ampu sebagai guru, tugas
menanamkan nilai-nilai karakter dan kepribadian sudah otomatis menempel dalam
kegiatan kita sehari-hari.
Misalnya pada bidang Fisika, ada
banyak hal yang bisa kita implementasikan dan kita integrasikan dalam
pembelajaran, Pada materi pengukuran, nilai-nilai yang dikembangkan adalah
kejujuran ilmiah, berarti kita sedang mengajarkan kepada siswa nilai-nilai
kejujuran, siswa diajarkan bahwa menimbang harus dengan jujur, skala ukurnya
sudah dikalibrasi, tidak berbohong, dan seterusnya.
Jadi masihkan kita mempertanyakan
bahwa perlukan nilai-nilai ini dimasukkan dalam mata pelajaran kita
masing-masing ? Maka jawabannya adalah SANGAT PERLU. Karena pendidikan adalah
proses panjang, apa yang hari ini lakukan kepada peserta didik kita, akan kita
lihat hasilnya beberapa tahun yang akan datang,. Bisa jadi apa yang
diperlihatkan oleh petinggi di negeri ini, terutama mereka-mereka yang
mengatasnamakan demi kepentingan rakyat, lalu dengan semena-mena menggunakan
dan mngkorup uang rakyat, adalah hasil dari proses pendidikan yang dialami pada
masa sekolah dulu,.
Semoga ini menjadi pencerahan buat
kita semua, untuk tidak melihat perlu atau tidaknya nilai-nilai ini
dikembangkan. Pada dasarnya nilai-nilai itu akan secara otomatis akan menempel
pada diri pribadi kita, apalagi sebagai guru, bukankah kita adalah orang yang
di "GUGU" dan di "TIRU"
Jadi jika kita sebagai pendidik
saja, masih meragukan untuk mampu melakukan dan mengimplementasikan nilai-nilai
ini dalam kegiatan pembelajaran dan dalam keseharian, maka jangan berharap
bahwa peserta didik kita akan menjadi lebih baik kedepan,. Secara akademis
mungkin jauh lebih baik, tetapi nilai-nilai kebaikan (sesuai dengan norma,
terutama norma Agama) akan jauh dari harapan.
Oleh : Achjar Chalil, S.Pd. (Penulis
Buku Pembelajaran Berbasis Fitrah, Balai Pustaka – 2008 dan Guru Mekatronika,
SMKN 56 Jakarta)
*) Makalah disampaikan pada tanggal
14 Desember 2008, pada seminar PBF dalam rangka HUT PGRI Kota Solok-Sumbar
I. Rasional
Pendidikan adalah sebuah proses yang
tak berkesudahan yang sangat menentukan karakter bangsa pada masa kini dan masa
datang, apakah suatu bangsa akan muncul sebagai bangsa pemenang, atau bangsa
pecundang sangat tergantung pada kualitas pendidikan yang dapat membentuk
karakter anak bangsa tersebut.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia,
karakter ialah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter satu bangsa sangat
dipengaruhi oleh kultur dasar bangsa tersebut. Jepang memiliki kultur Bushido
yang menekankan kesetiaan, kedisiplinan tinggi, dan semangat pantang menyerah.
Persentuhan bangsa Eropa dengan Islam melalui Spanyol, Sisilia, dan Perang
Salib pada abad ke 11M telah membentuk karakter bangsa Eropa menjadi bangsa
pembelajar sehingga mampu menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan karya
sarjana muslim di abad pertengahan, yang bermuara pada penguasaan mereka yang
tinggi terhadap iptek hingga saat ini.
Bangsa Indonesia, bukanlah bangsa
yang telah ada sejak zaman Majapahit, bangsa ini baru lahir pada tanggal 28
Oktober 1928, sehingga menjadi ‘bangsa yang muda’ dengan kultur dasar yang
“masih amburadul”, yang sedang mencari jati diri, dan memunculkan karakter yang
“aneh tapi nyata”.
Ambil contoh apa yang ditulis oleh
kolom tajuk Harian Umum Republika, Rabu, 19 November 2008, berikut; “Ada kisah
populer tentang gaya hidup pejabat negeri ini. Berada di sebuah negeri kaya
raya bernama Jepang untuk mengusur hutang, para pejabat kita datang ketempat
pertemuan dengan berkenderaan mewah. Disana tuan rumah sudah menunggu. Namun
mereka, para pejabat yang pegang kuasa untuk memberi hutang itu, ternyata
datang ketempat pertemuan dengan menggunakan kenderaan umum”
Kultur dasar suatu bangsa sangat
dipengaruhi oleh pemahaman bangsa tersebut terhadap agama dan tradisi yang
memengaruhi gaya hidup, dan pandangan hidup bangsa tersebut. Rasionalitas yang
merupakan kultur dasar bangsa Eropa dimulai dari Revolusi Prancis. Revolusi ini
terjadi karena adanya pemerintahan absolut pada masa raja Henry IV Navare
(1589-1610) dilanjutkan oleh Louis XIII (1610-1643). Louis XIII didampingi
Perdana Menteri Richellieu yang menyatakan “raja tak akan membagi otoritasnya
dengan siapapun juga, termasuk para bangsawan tinggi”. Pengganti Louis XIII
adalah Louis XIV yang memerintah paling absolut selama 72 tahun (1643-1715).
Dalam memerintah, raja didampingi Perdana Menteri Kardinal Mazarin.
(Kardinal:jabatan dalam gereja Katolik)
Sebagai suatu bentuk perlawanan
terhadap pemerintahan absolut ini para filsuf Prancis dimotori oleh Rene
Descartes (La Haye, Perancis, 31 Maret 1596 – Stockholm, Swedia, 11 Februari
1650) seorang fisuf dan ahli matematika memunculkan pilsafat eksistensialime
yang diteruskan oleh Jean-Paul Sartre (Paris, 21 Juni 1905 – 15 April 1980)
juga dari Prancis.
Aliran filsafat eksistensialisme
lebih dikenal dengan sebutan aliran filsafat ‘Cartesian’. Descartes mengatakan,
“Aku berpikir maka aku ada”, sementara Jean-Paul Sartre muncul dengan diktum,
“human is condemned to be free”, manusia dikutuk untuk bebas.
Aliran filsafat eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia sebagai individu
yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara
mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Fisafat ini menjadi aliran
besar dalam filsafat barat, dan memusnahkan cara pandang holistik (menyeluruh)
terhadap manusia yang dipelopori oleh para filsuf muslim pada abad ke-18 yang
memosisikan ‘Jiwa’ sebagai bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia.
Filsafat eksistensialisme berkembang
keseluruh penjuru dunia seiring dengan ekspansi kolonialistik dan imperialistik
bangsa barat ke benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Ketika bangsa-bangsa di
Asia, Afrika, dan Amerika Latin membebaskan diri dari cengkeraman kolonialis
barat, maka kebebasan itu tidak serta merta membebaskan alam pikiran dan kultur
dasar bangsa-bangsa ini dari pengaruh filsafat barat.
Di Indonesia, pada titik yang
ekstrim, pengaruh filsafat barat (yang berintikan filsafat eksistensialisme)
yang memengaruhi alam pikiran sebagian anak bangsa ini telah menghasilkan
kelompok cendikiawan muslim yang justru mengidap ‘Islamophobia’. Dengan
berbagai alasan, alergi terhadap simbol-simbol keislaman – tanpa pernah
mendalami Islam sampai pada tingkat yang tertinggi – para cendikiawan muslim
ini dengan ‘sukaria’ berbicara di TV, dan menulis di media yang isinya
mengagungkan filsafat barat, dan mengecilkan peranan Islam yang telah menyumbangkan
demikian besar ilmu pengetahuan dan teknologi melalui universitas-universitas
yang didirikan dinasti Abbasiyah (750-1258M) di Baghdad.
Sejarah mencatat, di saat dinasti
Abbasiyah mengalami kejayaan, pada saat yang sama Eropa mengalami kemunduran.
Pada abad XI, Eropa mulai menyadari kehadiran peradaban Islam yang tinggi di
wilayah Timur. Melalui Spanyol, Sisilia dan Perang Salib, peradaban itu mulai
dibawa ke Eropa. Sejak itulah Eropa mulai mengenai sains dan peradaban Islam.
Mereka mulai mengenal rumah sakit, bahan makanan timur, bahan pakaian, dan
peralatan rumah tangga.
Eropa juga mulai mengenal dunia ilmu
pengetahuan. Sebenarnya melalui Islam-lah Eropa mengenalkan filsafat dan sains.
Gustave Le Bon (7 Mai 1841 – 13 Desember 1931) ahli psikososial dari Prancis
pernah mengatakan bahwa ”orang Arablah yang menyebabkan kita mempunyai
peradaban. Karena mereka adalah imam kita selama enam abad”. Orientalis dari
Perancis Rom Landau mengakui bahwa dari orang Islam periode klasik inilah,
orang Barat belajar berpikir obyektif dan logis, serta belajar lapang dada di
saat Eropa diselubungi suasana pikiran sempit, tidak ada toleransi terhadap
kaum minoritas, dan suasana penindasan terhadap pikiran mereka. Hal ini menjadi
inspirasi bagi Renaisans Eropa yang kemudian membawa pada kemajuan dan
peradaban barat sekarang ini.
Filsafat eksistensialisme/cartesian
yang menjadi ‘Ruh’ filsafat barat pada gilirannya melahirkan faham atau isme
dalam bentuk; materialisme, sekularisme, dan atheisme yang dipelajari oleh para
intelektual dari negara-negara Asia dan Afrika ketika negara barat masih
menjajah negara-negera tersebut, dan sesudahnya. Faham materialisme,
sekularisme, dan atheisme, memunculkan faham lain yakni liberalisme, dan
permisifisme (serba boleh). Faham-faham ini memberi pengaruh pada pandangan
politik para politisi, cara pandang (paradigma) para intelektual terhadap
agama. Ketika negara-negara Asia-Afrika meraih kemerdekaan, dan para
intelektual ini menjadi pemimpin di negaranya, faham materialisme, sekularisme,
dan atheisme tampak kental mewarnai kebijakan negara dalam segala bidang
termasuk di bidang pendidikan.
Di Indonesia, di era 60-an, faham
atheisme pada kaum komunis pernah begitu marak yang berujung pada pemberontakan
G.30.S/PKI, dan kini berusaha bangkit kembali melalui gerakan-gerakan yang
berselubung isu demokrasi dan HAM (pada saat yang sama mengabaikan Kewajiban
Asasi Manusia/KAM). Bersama faham materialisme dan sekularisme, faham komunis
yang atheis terus hidup hingga kini dan memberi pengaruh kuat terhadap cara
pandang umat Islam terhadap agamanya sendiri.
Di bidang pendidikan, agama berubah
wujud menjadi bagian dari pranata budaya dan pengetahuan. Di sekolah-sekolah,
SD, SMP, dan SLTA, agama diajarkan dalam bentuk pengetahuan agama. Kemampuan
peserta didik memahami agama dinilai melalui kemampuan peserta didik menjawab
teori-teori agama, sama seperti kemampuan peserta didik menjawab teori fisika
dan matematika. Agama tidak lagi menjadi acuan hidup, ukuran sukses identik
dengan rumah mewah, uang banyak, mobil mewah, dan tanah luas (materialisme).
Para guru – yang beragama Islam
sekali pun – tidak menyadari bahwa benda selalu jatuh ke bawah adalah ketetapan
Allah (sunatullah), sementara hampir semua guru dengan bangga dan lantang
mengatakan ini adalah hukum Newton mengenai gravitasi.
Dalam konteks Minangkabau, seorang
pakar pendidikan dari negeri ini, Engku M. Syafe’i, melalui buku yang berjudul;
“Dasar-dasar Pendidikan yang ditulis beliau pada 31 Oktober 1968, (dikutip
sesuai tulisan aslinya), menyatakan;
Kalau disangka, bahwa timbulnya
Perguruan Nasional Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah akibat me-niru2
perguruan2 di Barat dan Amerika, maka hal itu tidak seluruhnya benar. Yang
menjadi pemimpin utama dalam hal ini adalah: terutama sekali ciptaan (fitrah-pen)
Tuhan, yakni alam Indonesia jauh dan dekat. Dengan mengakui adanya Tuhan, sudah
jelas kita mengakui akan ciptaan Tuhan.
M.Syafe’i adalah pakar pendidikan
yang sangat menyadari pentingnya keyakinan akan adanya Tuhan dan kekuasaan
Tuhan dalam rancang bangun pendidikan. Pada bagian lain dari bukunya beliau
berkata, “Sifat kerja adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Tiap2 yang menentang
dalil ini akan hancur. Tiap2 yang melaksanakan dalil ini akan bahagia”. Syafe’i
ingin menegaskan: Bekerjalah dengan landasan percaya pada kekuasaan Tuhan,
sehingga manusia tidak menjadi makhluk yang serakah! Peringatan Syafe’i kini
terbukti di Amerika. Kapitalis-Liberalis yang menguasai pasar uang dunia,
terpuruk oleh keserakahan yang terakumulasi dalam ‘Subprime Mortgage’, yang
berakibat pada krisis keuangan internasional terparah dalam sejarah umat
manusia!
Kuatnya pengaruh filsafat barat
(yang berintikan filsafat Cartesian) dalam dunia pendidikan selama puluhan
tahun sejak merdeka, telah mendorong rancang bangun pendidikan di republik ini
mengarah kepada pengingkaran adanya Tuhan, mengarah kepada pemisahan agama dari
urusan negara. Tak heran ketika pada tahun 2003 Rancangan Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional akan diundangkan, maka satu partai besar mati-matian menolaknya.
Alasannya pada undang-undang tersebut ada kata-kata; Akhlak Mulia, dan Iman
Takwa. Partai yang sama pada tahun 2008 mati-matian menolak Rancangan
Undang-undang Anti Pornografi.
Kuatnya pengaruh filsafat barat
dalam dunia pendidikan membuat jiwa yang cenderung pada kesucian tidak tidak
lagi diberi tempat dalam kehidupan. Yang diperhatikan dalam hidup hanyalah apa
yang terukur, sementara jiwa bukanlah hal yang terukur, tak pula terjangkau
oleh Panca Indera.
II. Fitrah
Dr. M. Quraish Shihab, M.A. lewat tulisannya
“Wawasan Al Qur’an”, (www. media.isnet.org-2007) menyatakan bahwa dari segi
bahasa, kata fitrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan
dari makna ini lahir makna-makna lain antara lain “penciptaan” atau “kejadian”.
Dalam Al-Quran kata ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak dua puluh
delapan kali, empat belas diantaranya dalam konteks uraian tentang bumi dan
atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan
bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia.
Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu pada surat Ar-Rum ayat 30:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama (Allah);(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah (Itulah) agama
yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS.30:30)
Muhammad Thahir bin Asyur (2003)
dalam tafsirnya Al-Tahrir tentang surat Ar-Rum di atas sebagaimana yang dapat
dibaca di www. media.isnet.org menyatakan bahwa: Fitrah adalah bentuk dan
sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan
manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan
jasmani dan akalnya (serta ruhnya).
Manusia berjalan dengan kedua
kakinya adalah fitrah jasadi (jasmani) nya, kemampuan manusia merumuskan
masalah dan mengambil kesimpulan adalah fitrah akliah (akal) nya, kemampuan
manusia menerima ilham, dan memanfaatkan bashirah adalah fitrah ruhiyah-nya.
Pembelajaran Berbasis Fitrah bertumpu pada Fitrah Ruhiyah peserta didik, dimana
bashirah-nya akan mengendalikan akal pikirannya.
Konsepsi fitrah telah ada sejak
manusia diciptakan, artinya pada diri setiap orang terdapat potensi fitrah yang
senantiasa mendorong manusia berbuat kebajikan, menjadikan dirinya sebagai
sumber daya yang bermanfaat bagi lingkungan, bagi sesama manusia. Fitrah
bermakna bahwa setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Setiap bayi
dilahirkan dalam keadaan suci, tidak memiliki dosa apapun. Seseorang yang
kembali kepada fitrahnya, berarti ia mencari kesucian dan keyakinannya yang
asli, sebagaimana pada saat ia dilahirkan (karena itu menjelang Hari Raya Iedul
Fitri tiap individu Muslim, berkewajiban membayar Zakat Fitrah, zakat untuk
menyucikan jiwa). Jiwa manusia condong kepada kebaikan, sebagaimana firman
Allah,
“….tetapi Allah menjadikan kamu
cinta pada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan
kamu benci pada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang
yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagai karunia dan nikmat dari Allah dan
Allah Maha Mengetahui lagi Bijaksana” (QS Al Hujuraatt: 7-8)
III.
Bashirah
Seorang Sufi, Abdurrozaq al-Qasyảni
(1265M) didalam kitabnya al-Isthilahat al-Sufiyyah, menyatakan al-Bashirah
ialah kekuatan hati yang dilimpahi cahaya Ilahi yang dengannya hati dapat
melihat hakikat batin sesuatu perkara sebagaimana mata dapat melihat lahiriah
sesuatu benda.
Bashirah, adalah pandangan mata
batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Berbeda dengan qalb/kalbu/hati
yang tidak konsisten, bashirah selalu konsisten kepada kebenaran dan kejujuran.
Ia tidak bisa diajak kompromi untuk menyimpang dari kebenaran. Bashirah disebut
juga sebagai nurani, dari kata nur, .Bashirah adalah cahaya ketuhanan yang ada
dalam hati, nurun yaqdzifuhullah fi al qalb. Interospeksi, tangis kesadaran,
kecerdasan, religiusitas, god spot,bersumber dari sini.
”Katakan ini adalah jalanku. Aku
menyeru kepada Allah atas dasar bashirah. Demikian pula orang orang yang
mengikutiku”. (QS: Yusuf:108)
“Akan tetapi di dalam jiwa manusia
itu ada bashirah (yang tahu)” (QS.Al Qiyaamah:14).
Manusia yang sudah mampu menghadirkan
“Kekuasaan Allah” pada “Bashirah” yang ada dalam jiwanya tentulah akan
memperoleh Nafsu Mutmainnah atau jiwa yang tenang, dan insya Allah akan selalu
dapat menghindarkan dirinya dari hal-hal yang negatip, kontra produktip.
IV.
Pembelajaran Berbasis Fitrah
Pembelajaran Berbasis Fitrah adalah
pembelajaran yang mengupas masalah fitrah dalam makna; suci. Hal ini
mengingatkan kita semua, terutama kalangan pendidik, bahwa: ‘Kesucian Jiwa’
memegang peranan penting dalam prilaku dan keberhasilan manusia dalam menjalani
hidupnya.
Jiwa yang kering dan jauh dari
nilai-nilai agama adalah jiwa yang cenderung membuat seseorang, atau sekelompok
orang berbuat tanpa kearifan dan cenderung mengabaikan etika, estetika, dan
‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’
Jiwa adalah bagian dari Fitrah dalam
makna; penciptaan yang dilakukan oleh Allah sebagai Sang Pencipta (al Khalik).
Untuk ini Allah telah berfirman dalam surah Asy Syams ayat 7-10 . berikut,
“(7)Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya).(8) Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaan. (9) Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. (10)
Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”
Surah Asy Syams ayat 7-10 ini
mengingatkan kita bahwa pada fitrah diri manusia ada “kekuatan yang tersimpan”
berupa ilham ketakwaan yaitu kemampuan seseorang untuk mentaati aturan dan ada
“kelemahan yang tersimpan” berupa ilham kefasikan yaitu kecenderungan seseorang
untuk melanggar aturan, bahkan aturan yang dibuat olehnya sendiri, karena
itulah Allah SWT mengingatkan, ‘beruntunglah orang yang senantiasa mampu
mensucikan jiwanya’.
Jika manusia mampu menyadari fitrah
dirinya yang hakiki dan suci dan mengenali keberadaan “kekuatan yang
tersimpan”, untuk kemudian mampu mengeluarkannya, mengalirkannya ke dalam
aliran darah, pikiran, dan jiwanya, ketenangan batin akan menyeruak memenuhi
sekujur tubuhnya.
Dia pun akan melangkah dengan
mantap, menyusuri hari-harinya, jauh dari rasa cemas, dan rasa takut, karena
dia tidak lagi merasa sendiri, “Kekuasaan Allah” selalu hadir mendampingi dalam
jiwanya. Perlahan tapi pasti dia akan memperoleh kecerdasan spiritual yang
mendukung tumbuhnya kecerdasan intelektual.
Efek dari semua ini adalah: dia
mampu berpikir besar dan berbuat besar, tanpa pernah merasa besar. Dia dapat
menjadi tokoh penting dalam masyarakat tanpa pernah merasa menjadi orang
penting. Dia adalah pencontoh paling nyata dari sifat Rasullullah; Sidiq
(jujur), Amanah (dapat dipercaya),Tabligh (selalu menyerukan kebaikan), dan
Fatanah (cerdas).
Kunci keberhasilan untuk meraih
kesucian jiwa – dimana bashirah kemudian berperan besar dalam menumbuhkan
kecerdasan spiritual – adalah:
Yakin dan sangat yakin pada
keberadaan dan kekuasaan Allah.
Senantiasa berusaha mensucikan jiwa
dengan selalu ikhlas ber-dzikir mengingat Allah.
Melakukan semua perintah Allah dan
menjauhi larangannya dalam rangka: menghambakan diri kepada Allah
V. Penutup
Jika seminar yang diselenggarakan
ini adalah seminar pada umumnya – yang hanya menyisakan rangkaian kata-kata
melayang tanpa bekas di udara dan kertas makalah yang bertumpuk – maka makalah
yang ditulis ini menjadi sesuatu yang bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa,
melainkan hanya seonggok tulisan yang ditulis sekedar untuk mengikuti kehendak
panitia.
Jika kata demi kata yang terangkai
menjadi kalimat ditempatkan sebagai sebuah makna yang patut direnungkan, insya
Allah yang menulis makalah, dan yang membaca makalah akan mendapatkan curahan
kasih sayang Allah dalam volume dan nilai yang sama.
Jika makalah ini dibaca oleh saudara
yang non muslim, percayalah dalam ajaran agama (atau ajaran budaya) saudara pun
sangat dilarang pemujaan yang berlebihan terhadap harta, tahta, serta dunia
dengan segala isinya, sehingga nilai-nilai kemanusiaan kita yang luhur – yang
membedakan kita dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan – tergadaikan.
Wallahu alam.
Tangerang-Banten, 19 November 2008.
Teman-teman Agupena yang ingin memperoleh buku Pembelajaran Berbasis Fitrah
dapat langsung mengontak Bapak Dewa di Balai Pustaka, HP: 08161133387. Salam.
Sumber: Pembentukan Karakter Peserta Didik melalui
Pendekatan Pembelajaran Berbasis Fitrah *) | Agupena Jawa Tengah
http://agupenajateng.net/2009/02/13/pembentukan-karakter-peserta-didik-melalui-pendekatan-pembelajaran-berbasis-fitrah/#ixzz1d0hxUXX0
Under Creative Commons License:
Attribution Non-Commercial Share Alike
0 komentar:
Posting Komentar